Falsafat Ilmu Dan Pengetahuan
FALSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Falsafat Ilmu merupakan bagian
dari epistimologi (falsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat
ilmu atau pengetahuan ilmiah. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai
ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara
ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan
teknis yang bersifat khas, maka falsafat ilmu ini sering dibagi menjadi falsafat
ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan
pembatasan bidang-bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu
sosial, dan tidak mencirikan cabang falsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang
berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara falsafat, namun tidak terdapat
perbedaan yang prinsip antara ilmu-ilmu alam dan sosial, dimana keduanya
mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
1. Dasar – Dasar Pengetahuan
Definisi
Manusia adalah satu-satunya
mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini sungguh-sungguh. Binatang juga
mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan
hidupnya.
Manusia mengembangkan
pengetahuannya mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dan memikirkan
hal-hal baru, menjelajah hidup baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk
kelangsungan hidupnya, namun lebih dari pada itu. Manusia mengembangkan
kebudayaan; memberi makna bagi kehidupan; manusia ‘memanusiakan” diri dalam
dalam hidupnya. Intinya adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu
yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat
manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi
makhluk yang bersifat khas.
Pengetahuan
ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama;
a.
Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan
jalan
pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
b.
Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis
besar cara berpikiran
2. Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Ilmu yang paling termasuk paling
maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika. Fisika merupakan ilmu
teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta
pembuaktian induktif yang mengesankan. Namun sering dilupakan orang bahwa
fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh. Artinya fisika
belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara semantik, sistematik,
konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati
bersama. Di mana terdapat celah.
perbedaan
dalam fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori
ilmiah diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Begitu juga
sebaliknya dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk ilmu-ilmu sosial.
Kemudian pertanyaan yang muncul
dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat kotakkotak dan
pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Jawabannya adalah sederhana
sekali; sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis,
yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam
pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu. Suatu permasalahan kehidupan
manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis secara
cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang rumit ini ,
seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi
manusia, harus dilihat sepotong
demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai displin keilmuan , dengan
asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan
tersebut. Ilmu-ilmu ini bersfat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing
dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidispliner. (Jadi bukan “fusi”
dengan penggabungan asumsi yang kacau balau). Dalam mengembangkan asumsi ini
maka harus diperhatikan beberapa hal:
1. Asumsi ini harus relevan
dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan.
Asumsi ini harus oprasional dan merupakan
dasar dari pengkajian teoritis.
2. Asumsi ini harus disimpulkan
dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana
keadaan yang seharusnya.” Asumsi yang
pertama adalah asumsi yang mendasari telaah
ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah
asumsi yang mendasari moral
Seorang
ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis
keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula
konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi
suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang
tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa
kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu
maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang
tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat
kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab
sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan
informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat
diusahakan pemecahannya.
Sumber :
http://www.sttip.com/modul%20filsafat%20ilmu.pdf
Komentar
Posting Komentar